“OM
SWASTYASTU”
Banyak kalangan lain melihat keunikan
tersendiri bagi umat Hindu Nusantara, khususnya di Bali yang merayakan tahun
barunya, karena kalau umat lain mereka merayakan tahun barunya dengan
kemeriahan, pesta makan-minum, pakaian baru, dan sebagainya. Namun umat Hindu,
justru di Tahun Baru Saka yang jatuh pada “Penanggal Ping Pisan Sasih Kadasa”
menurut sistem kalender Hindu Nusantara, yaitu di saat “Uttarayana” (hari
pertama matahari dari katulistiwa menuju ke garis peredaran di lintang utara),
merayakannya dengan sepi yang kemudian bernama “Nyepi” artinya membuat suasana
hening Hari raya Nyepi oleh umat Hindu di Bali dirayakan sebagai hari
pergantian tahun baru Caka. Hari raya ini menurut penanggalan Hindu jatuh pada
tanggal satu (penanggal pisan) sasih X (kedasa) atau tepatnya sehari sesudah
tilem ke IX (kesanga) yang akan kita rayakan bersama besok pada hari Sabtu,
tanggal 5 Maret 2011 adalah tahun baru caka 1933 merupakan momen yang sangat
tepat untuk melakukan penyucian bhuwana agung dan bhuwana alit (makro dan
mikrokosmos) sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir
bathin (jagadhita dan moksa), terbinanya kehidupan yang berlandaskan satyam
(kebenaran), siwam (kesucian), dan sundaram (keharmonisan/ keindahan). Sebelum
hari raya Nyepi, umat Hindu melaksanakan upacara Melasti, Mekiis atau Melis.
Ini biasanya dilakukan Panglong ke 13 atau 3 hari sebelum Nyepi. Tujuan dari
upacara ini adalah memohon kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa/manisfestasi beliau
yang besthana di laut sebagai sumber air untuk menyucikan alam beserta isinya.
Semua Prelingga atau simbol Tuhan yang dalam bentuk patung diarak ke laut untuk
disucikan.
Sehari sebelum hari raya Nyepi,
dilaksanakan upacara Pecaruan atau Pengerupukan. Upacara ini juga bisa disebut
dengan Tawur Kesanga karena upacara ini dilakukan pada Tilem Kesanga atau pada
bulan mati bulan ke sembilan pada perhitungan kalender Bali/Sasih Bali. Upacara
ini dilakukan di setiap rumah, Banjar, Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi.
Upacara ini dilakukan di depan pekarangan, perempatan jalan, alun-alun maupun
lapangan. Tujuan upacara ini adalah mengusir atau menghilangkan pengaruh buruk
Butha Kala atau roh-roh yang ada dibawah alam manusia. Jadi dapat juga
dikatakan upacara Pecaruan atau Pengerupukan bertujuan mengharmoniskan kembali
alam semesta beserta isinya sehingga bernuansa baru lagi.
Tepat pada hari raya Nyepi dirayakan
oleh umat dengan cara melakukan Catur Bratha Penyepian. Catur bratha penyepian
terdiri dari empat macam pantangan yaitu: amati geni (tidak menyalakan api),
amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bekerja) dan amati lelanguan
(tidak melakukan kegiatan hiburan). Semua pantangan ini dilakukan untuk
mengekang hawa nafsu dan segala keinginan jahat sehingga dicapai suatu
ketenangan atau kedamaian batin. Dengan ini pikiran manusia bisa terintropeksi
atas segala perbuatannya pada masa lalu dan pada saat yang sama memupuk
perbuatan yang baik untuk tahun berikutnya. Semua ini dilakukan selama satu hari
penuh pada hari raya nyepi.
Sehari setelah hari raya nyepi, semua
aktivitas kembali berjalan seperti biasa. Hari ini dimulai dengan
persembahyangan dan pemanjatan doa kepada Hyang Widhi untuk kebaikan pada tahun
yang baru. Pada hari ngembak geni ini hendaknya umat saling bersilatuahmi dan
memaafkan satu sama lain. Hari raya nyepi pada hakekatnya adalah hari
pengekangan hawa nafsu dan intropeksi diri atas segala perbuatan yang dilakukan
pada masa lalu. Pelaksanaan hari raya nyepi ini harus didasari dengan niat yang
kuat, tulus dan ikhlas tanpa ada ambisi tertentu. Pengekangan hawa nafsu untuk
mencapai kebebasan batin memang suatu ikatan tetapi ikatan itu dilakukan dengan
penuh keikhlasan.
Kita ketahui bersama bahwa kelemahan
tradisi beragama umat Hindu khususnya yang tinggal di Bali, adalah terlalu
banyak berkutat pada segi-segi ritual (upacara) sehingga segi-segi tattwa dan
susila kurang diperhatikan. Tidak sedikit dari kita merasa sudah beragama hanya
dengan melaksanakan upacara-upacara Panca Yadnya saja. Salah satu segi tattwa
yang kurang diperhatikan misalnya mewujudkan Tri Hita Karana. Perkataan ini
sering menjadi slogan yang populer, diucapkan oleh berbagai tokoh dengan
gempita tanpa menghayati makna dan aplikasinya yang riil di kehidupan
sehari-hari.
Tri Hita Karana, tiga hal yang
mewujudkan kebaikan, yaitu:
1.
Keharmonisan hubungan
manusia dengan Hyang Widhi (Pariangan)
2.
Keharmonisan hubungan
manusia sesama manusia (Pawongan)
3.
Keharmonisan hubungan
manusia dengan alam (Palemahan)
Tri Hita Karana bertitik sentral pada
manusia, dengan kata lain Tri Hita Karana bisa terwujud jika manusia mempunyai
tekad yang kuat melaksanakannya. Tekad yang kuat harus disertai dengan
pengertian yang mendalam dan kebersamaan sesama umat manusia. Tri Hita Karana
tidak bisa diwujudkan hanya oleh seorang diri atau sekelompok orang saja. Itu
harus dilakukan bersama-sama oleh semua manusia, bahkan manusia beragama
apapun. Manusia yang pendakian spiritualnya cukup akan mencintai Tuhan (Hyang
Widhi). Cinta kepada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih luas disebut “bhakti”.
Ruang lingkup ini misalnya: bhakti kepada Tuhan, negara, bangsa, rakyat, dll.
Tinjauan khusus tentang bhakti kepada
Hyang Widhi, wujudnya adalah kasih sayang kepada semua ciptaan-Nya, yaitu
mahluk hidup: manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan; demikian pula kepada
ciptaan-Nya yang lain misalnya alam semesta. Seseorang yang mengaku sebagai
“bhakta” (orang yang berbhakti) tidaklah tepat jika ia menunjukkan bhaktinya
itu kepada Hyang Widhi hanya dalam bentuk berbagai ritual saja. Ia juga harus
mewujudkan cinta dan kasih sayang kepada semua mahluk, khususnya kepada sesama
manusia.
Rasa kasih sayang kepada sesama manusia
hendaknya benar-benar datang dari hati nurani yang bersih dan tulus tanpa
keinginan mendapat balas jasa atau imbalan dalam bentuk apapun. Filsafat
Tattwamasi merupakan panduan yang bagus kearah ini. Masyarakat yang
individu-individunya telah mampu melaksanakan ajaran Agama dengan baik akan
mewujudkan keadaan yang disebut sebagai satyam, siwam, sundaram, yakni
masyarakat yang saling menyayangi sesamanya, kebersamaan yang harmonis dan
dinamis, berkeimanan yang kuat dan sejahtera lahir-batin. Manusia dalam
upayanya mencapai kehidupan satyam, siwam, sundaram tidaklah dapat berdiri
sendiri-sendiri. Ia memerlukan berbagai hubungan yang harmonis dengan manusia
lain, atau jelasnya, manusia membutuhkan kelompok tertentu yang sehaluan dalam
pemahaman keimanan, kepentingan politik, kepentingan ekonomi, kepentingan
sosial, dan kepentingan budaya.
Jika kita perhatikan tujuan filosofis
hari raya Nyepi, tetap mengandung arti dan makna yang relevan dengan tuntutan
masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai tujuan utama
upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan
datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi
umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber
kehidupan.
Tawur Kesanga juga berarti melepaskan
sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan
mengingat kata “tawur” berarti mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita
ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan
hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma
wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu
berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu
dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga
bermakna memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu
ditanamkan dalam merayakan pergantian Tahun Saka. Dan yang lebih penting adalah
secara ekologis kita telah melakukan program hemat energi meskipun dalam kurun
waktu 2 x 24 jam tapi cukup efisien dan dapat mengurangi emisi gas CO2 karena
kendaraan bermotor sehingga udara bersih dan ini patut ditiru oleh dunia dalam
pencanangan untuk mencegah global warming.
Jadi dengan pelaksanaan hari raya Nyepi
ada sebuah ungkapan menarik: “Silence is Brahman” (Keheningan adalah Tuhan).
Ungkapan dalam bahasa Inggris tadi tampaknya memang tidak populer bagi umat
Hindu di sini. Namun umat Hindu sesungguhnya sudah lama mengenal hakikat
ungkapan tadi dengan bahasa lain. Misalnya dengan ungkapan Sanghyang Sunya
(baca: Sunia). Kata “sunya” artinya sepi. Sedangkan “Sanghyang Sunya”, bagi
umat Hindu di Bali, adalah nama lain dari Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.
“OM SHANTI SHANTI SHANTI OM”
0 comments:
Post a Comment