Tiap kali ada presiden datang ke Bali, selalu terjadi perusakan
baliho tolak reklamasi. Begitu pula yang terjadi Sabtu (14/5) pekan
lalu. Baliho-baliho yang dipasang warga adat di pertigaan Jalan By Pass
Ngurah Rai Nusa Dua – pintu jalan Tol Bali Mandara Bualu, Nusa Dua, Bali
mendadak diturunkan tentara berpakaian lengkap. Para pelaku mengatakan
baliho dituturunkan karena adanya kedatangan Presiden Joko Widodo ke
Bali.
I Nyoman Suweta, Kepala Lingkungan Banjar Penyarikan, Desa Bualu,
Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung menceritakan kejadian tersebut.
Pada pukul 1 siang Sabtu kemarin, petugas merobohkan dua baliho di
pertigaan menuju arah kawasan Bali Tourism Development Corporation
(BTDC) Nusa Dua, kawasan elite tempat pertemuan-pertemuan penting
nasional maupun internasional. Para petugas beralasan ada perintah dari
atasan.
“Saya tidak tahu mereka dari mana. Yang jelas mereka tentara berpakaian lengkap,” kata Suweta.
Setelah sempat terjadi perdebatan dengan warga, petugas TNI
berpakaian lengkap tetap menurunkan dua baliho. Satu baliho berukuran
4×6 meter dengan tulisan Desa Adat Bualu Tolak Reklamasi Teluk Benoa
yang terpasang sejak sekitar sebulan lalu. Bali lainnya baru terpasang
pada Jumat malam dengan tulisan Selamat Datang Pak Jokowi. Saatnya Cabut
Perpres Nomor 51 tahun 2014 Warisan Rezim SBY. Baliho berukuran 3×4
meter dipasang oleh warga Bualu untuk menyambut kedatangan Jokowi ke
Bali. Namun, baru satu malam dipasang, baliho tersebut telah dirobohkan
aparat TNI.
“Ketika kami tiba di sana, baliho-baliho yang kami pasang sudah
dirobohkan,” katanya. Dia menambahkan hal lain yang membuat mereka kesal
adalah karena bendera merah putih yang mereka pasang bersama bendera
Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) di satu tiang
juga ikut dibuang. “Kami merasa tersinggung sekali. Di alam demokrasi
masih ada tindakan pemberangusan seperti ini,” kata Suweta.
Berjarak sekitar 1 km dari pertigaan tersebut, penurunan baliho juga
hampir terjadi di perempatan di depan pintu masuk BTDC. Kadek Duarsa,
warga Tanjung Benoa yang juga aktivis Tanjung Benoa Tolak Reklamasi
(TBTR), ikut hadir di sana ketika aparat akan menurunkan baliho. Duarsa
dan warga lalu menanyakan alasan para tentara itu sehingga merobohkan
baliho.
Menurut Duarsa, anggota TNI yang akan merobohkan sendiri
berganti-ganti alasan. Alasan pertama, mereka bilang karena isinya
dianggap melecehkan pejabat negara. “Ketika kami tanya kalimat mana yang
dianggap melecehkan, mereka tidak bisa menunjukkan,” kata Duarsa.
Alasan kedua menurut versi anggota TNI karena baliho-baliho itu
bersifat politis. “Saya tunjukkan baliho-baliho lain juga isinya lebih
politis namun kenapa mereka dibiarkan?” ujar Duarsa. Menurut Duarsa, di
lokasi tersebut juga banyak baliho para calon ketua umum Partai Golkar
yang sedang melaksanakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di
Nusa Dua.
Namun, menurut Duarsa, anggota TNI tidak bisa menjelaskan lebih
lanjut. Setelah tidak bisa menjelaskan, mereka kemudian mengeluarkan
ancaman.
“Mereka bilang jika kami tidak mengizinkan penurunan baliho-baliho
tersebut, maka kami akan ditangkap. Saya jawab jika mereka menangkap
kami, kami akan bunyikan kul-kul bulus di banjar,” Duarsa bercerita.
Kul-kul bulus adalah kentongan tradisional Bali untuk memanggil warga
jika ada keadaan bahaya.
Karena tidak bisa menjawab pertanyaan warga, anggota TNI pun
membiarkan baliho di perempatan pintu masuk kawasan BTDC Nusa Dua
tersebut. Baliho-baliho berisi sambutan selamat datang dan tuntutan
kepada Presiden Jokowi pun tetap terpasang.
Duarsa mengatakan sebagian baliho berisi tuntutan kepada Jokowi
memang baru dipasang menjelang kedatangan Presiden ke Bali untuk membuka
Munaslub Partai Golkar. “Kami ucapkan selamat datang kepada Bapak
Jokowi dengan harapan membantu masyarakat Bali untuk secepatnya
membatalkan Perpres 51 Tahun 2014 warisan Rezim SBY,” ujar Kadek Duarsa
yang juga Ketua Lembaga Perwakilan Masyarakat (LPM) Tanjung Benoa.
Adapun baliho di pertigaan Bualu kemudian kembali dididirikan oleh
warga hanya berselang tak sampai satu jam setelah perobohan. “Seperti
suara penolakan kami terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa, kami akan
terus mendirikan kembali baliho tersebut apapun yang terjadi,” kata
Suweta.
Intimidasi
Desa Adat Bualu sendiri termasuk salah satu dari 35 desa di Bali yang
sudah secara resmi menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. “Banjar kami
yang terdiri dari 2.700 jiwa sudah tegas menolak rencana reklamasi,”
ujar Suweta. Ada tiga alasan yang dia sampaikan. Pertama, Teluk Benoa
merupakan kawasan suci. Kedua, Teluk Benoa merupakan tempat sebagian
warga Bualu mencari makan. Ketiga, kalau memang terjadi pendangkalan,
maka seharusnya bukan direklamasi tapi dikeruk.
“Kami ini daerah paling kecil di sekitar Teluk Benoa dibandingkan
desa lain. Kami pasti kena dampak jika Teluk Benoa jadi direklamasi.
Jika memang mau reklamasi, lakukan saja di tempat lain seperti Buleleng
atau Karangasem yang masih luas wilayahnya,” Suweta menambahkan.
Menurut Suweta, pembongkaran balih-baliho tersebut merupakan bentuk intimidasi kepada warga yang menolak.
Baliho-baliho menyambut kedatangan Jokowi ke Bali itu terpasang tak
hanya di Bualu dan Nusa Dua. Masyarakat Desa Kedonganan juga memasang
baliho bertuliskan Selamat Datang Pak Jokowi di Bali, Jika SBY
Menerbitkan Perpres 51/2014 Saatnya Pak Jokowi Mencabutnya, Jangan Mau
Kena Jebakan Batman SBY”.
Baliho-baliho tersebut dipasang di berbagai titik di antaranya di
pertigaan lampu merah Kedonganan dan di perbatasan antara Kedongan dan
Jimbaran. Semua baliho itu berada di lokasi yang dilewati dari Bandara
Ngurah Rai ke arah Nusa Dua.
“Kami pemuda pesisir berharap Presiden mengerti dan memahami pesan
dalam baliho yang kami dirikan ini,” tutur pemuda dari Desa Adat
Kedonganan Wayan Gede Dwi Adnyana Putra.
Terus Meluas
Menyikapi penurunan balih-baliho tersebut, ForBALI mempertanyakan
kewenangan aparat TNI dalam melakukan penurunan baliho-baliho tersebut.
“Apa dasar hukum pihak TNI melakukan tindakan tersebut? Apakah hal itu
merupakan bagian dari tugas pokok TNI sebagaimana diatur dalam UU no. 34
th 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia?” tanya I Wayan Gendo
Suardana.
Menurut Gendo tindakan tersebut bukanlah bagian dari tugas pokok dan
kewenangan TNI. Karena itu, menurutnya, aparat TNI telah melakukan
tindakan sewenang-wenang dan tidak berdasar hukum.
Selain mempertanyakan kewenangan TNI, ForBALI juga menyatakan
keberatan dan mengecam tindakan anggota TNI. “Tindakan tersebut adalah
pengekangan kebebasan berekspresi oleh aparat Negara,” kecam Gendo.
Padahal kebebasan berekspresi adalah hak warga negara yang dijamin oleh
Pasal 28 ayat (3) huruf e Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
serta Undang-undang No. 9 tahun 1998 tentang kebebasan menyampaikan
pendapat di muka umum.
Dalam catatan ForBALI, penurunan secara paksa terhadap Baliho
Penolakan rencana reklamasi Teluk Benoa oleh aparat negara, baik anggota
TNI maupun Polri, setiap kedatangan presiden ke Bali sudah berulangkali terjadi,
sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga kini
Presiden Jokowi. Anehnya selalu saja yang menjadi sasaran adalah baliho
aspirasi penolakan reklamasi Teluk Benoa sedangkan baliho-baliho atau
alat peraga lainnya selain baliho tolak reklamasi di area yang sama
masih dibiarkan.
Menurut Gendo, penurunan paksa baliho penolakan reklamasi oleh aparat
negara bukanlah penertiban melainkan pemberangusan kebebasan
berekspresi. “Tindakan aparat negara yang menurunkan baliho tolak
reklamasi Teluk Benoa secara paksa telah melanggar hak konstitusional
warga Negara,” pungkasnya.
ForBALI telah menyampaikan laporan lisan kepada Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM). “Kami meminta KOMNAS HAM untuk segera
melakukan tindakan-tindakan sesuai kewenangannya, mengingat
pemberangusan kebebasan berekpresi dan berpendapat sudah sangat sering
terjadi khususnya setiap kedatangan Presiden RI ke Bali,” pungkas Gendo.
Intimidasi terhadap baliho-baliho tolak reklamasi sendiri seakan
tidak menyurutkan suara warga yang menolak. Bukannya menciut, suara
penolakan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa justru terus meluas.
Minggu sore kemarin, giliran tiga desa adat di Kabupaten Gianyar yang
mendeklarasikan penolakan tersebut, yaitu Desa Adat Medahan, Cucukan,
dan Keramas.
Sekitar 5.000 peserta aksi memadati Pantai Masceti Minggu sore dengan
membawa berbagai atribut penolakan terhadap rencana reklamasi. Ada yang
membawa gamelan, ogoh-ogoh, bendera, spanduk, hingga layang-layang dan
spanduk raksasa berukuran sekitar 10 x 10 meter.
Massa yang berpakaian seragam putih-putih itu datang dari berbagai
penjuru Bali, seperti Buleleng, Karangasem, Kuta, Denpasar, dan Gianyar
sendiri. Ketut Punduh, 70 tahun, warga Sukawati, Gianyar misalnya datang
dengan naik sepeda ontelnya. Di bagian belakang sepeda tuanya dia
mengikat bendera ForBALI dengan tulisan Tolak Reklamasi Teluk Benoa.
Batalkan Perpres No 51 tahun 2014.
“Lebih baik saya berjuang menolak rencana reklamasi daripada
membiarkan cucu saya mati tenggelam karena kena dampak reklamasi,”
ujarnya.